Rabu, 28 April 2010

Ketika Rekayasa Genetika “Menghiasi” Peradaban Modern

Mengakali kondisi tubuh manusia dengan sains? Bukan hal baru memang. Bahkan sejak zaman NAZI pun, rekayasa genetika sudah dilakukan. Bagaimana kelak wajah dunia modern dengan teknologi semacam ini? Bagian pertama dari dua tulisan.

Eugenika adalah metode perbaikan genetik manusia melalui mekanisme seleksi buatan. Salah satu aplikasi dari eugenika adalah sterilisasi terhadap kelompok penderita kelainan genetik. Sterilisasi dilakukan untuk mencegah mereka memiliki keturunan yang terbelakang. Keluarga Berencana (KB) adalah versi eugenika yang telah diperhalus. Aplikasi yang paling ekstrim dari eugenika adalah eksekusi mati kepada penderita keterbelakang mental dan tahanan dari ras yang dianggap “tidak bersih”. Kebijakan ini dilakukan untuk menjaga populasi tetap bebas dari gen-gen yang tidak baik. Ide ini menjadi penting pada awal abad ke 20, dan memiliki daya tarik yang besar selama perang dunia II. Adolf Hitler dan Partai Nazi yang ia pimpin adalah propagandis eugenika yang utama. Salah satu dari tujuan utama Hitler adalah pemurnian ras Arya (Jerman) dari gen ras-ras lain yang dianggap “tidak bersih”.

Menurut teori evolusi, yang dikembangkan oleh Charles Darwin di tahun 1859, individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya adalah lebih mampu untuk meninggalkan jumlah keturunan yang lebih banyak. Bagaimanapun, individu yang kurang mampu beradaptasi, meninggalkan keturunan yang lebih sedikit. Oleh sebab itu, selama banyak generasi, gen dari individu yang kurang mampu beradaptasi atau yang inferior akan secara gradual dihilangkan dari populasi. Darwin menamakan proses ini sebagai seleksi alamiah. Teori Darwin akan sangat mempengaruhi para pendukung eugenika.

Penggunaan pengobatan dan peningkatan prosedurnya dalam beberapa abad terakhir ini menyebabkan manusia dapat mengendalikan seleksi alam. Contoh klasik adalah operasi Caesar untuk kelahiran bayi. Wanita yang seharusnya meninggal akibat tidak mampu melahirkan secara normal, sekarang dapat memiliki keturunan. Maka dari itu, gen untuk bentuk tubuh yang mencegah kelahiran normal tetap ada di populasi. Seleksi alam untuk trait (sifat) ini tetap ada pada populasi pribumi asli yang tidak memiliki akses pada pengobatan modern, namun ini hanyalah salah satu perkecualian. Dalam beberapa hal, orang yang kurang mampu beradaptasi, dengan fisik yang lemah dan genetik yang membawa penyakit, dan seterusnya, tetap dapat memiliki keturunan dengan pertolongan dari pengobatan modern. Berapa banyak dari kita yang tidak akan ada bersama kita, bila sumber pengobatan tidak ada?

Gen Buruk

Pendukung dari eugenika berargumentasi, bahwa manusia mengakumulasikan gen buruk karena manusia memiliki seleksi alam yang lambat. Alasan mereka yang lain adalah, manusia harus memiliki lisensi untuk berbagai aktivitas, seperti menyetir, berburu, dan memancing, namun tidak untuk melahirkan. Maka itu, menurut mereka lagi, pemerintah harus mengkontrol proses melahirkan juga. Di China dan India, pemerintah mengatur pertumbuhan populasi. Ini adalah kendali kuantitatif, bukan kualitatif. Beberapa orang berargumen, bahwa ini adalah diskriminasi seksual di kedua negara itu, dan laki-laki lebih disukai karena mereka bisa memberikan penghasilan yang lebih besar bagi keluarga mereka.

Pada 20 tahun berikutnya dari sekarang, akan terjadi banyak perubahan pada perilaku manusia, dan seseorang dapat membayangkan bahwa revolusi yang akan mengubah dunia. Membandingkan dunia sekarang dan 50 tahun yang lampau, tidak ada seorangpun yang berpikir bahwa eugenika akan menjadi isu lagi. Beberapa dari kejahatan kemanusiaan yang paling mengerikan dilakukan atas nama pemurnian ras Arya. Sampai 1945, eugenika diajarkan di berbagai universitas top di seluruh dunia, dan kewajiban mensterilisasi populasi yang inferior adalah cukup umum pada beberapa negara. Ada laporan dari seterilisasi terhadap 20.000 orang di Amerika Serikat, 45.000 di Inggris, dan 250.000 di Jerman pada paruh pertama abad ke 20. Eugenika mengubah opini publik untuk melawan intervensi pemerintah pada pilihan reproduksi warga negara, dan hari ini, kewajiban sterilisasi hanya bisa diterima oleh pikiran para pendukung eugenika fanatik. Bagaimanapun, dengan dunia yang mulai mengalami overpopulasi dan sumber daya alam yang semakin menipis, banyak orang yang takut bahwa kontrol populasi menjadi kenyataan lagi.

Teknologi tes genetika telah memungkinkan mendeteksi penyakit keturunan yang diderita oleh janin, jauh sebelum bayi itu dilahirkan. Uji amniosentesis memungkinkan dokter untuk mengetahui kelainan genetik pada janin dengan mengambil sampel cairan amnion pada rahim ibu. Selanjutnya, cairan amnion akan diuji dengan serangkaian tes kedokteran. Tes genetik telah semakin rutin digunakan di negara maju dengan uji amniosentesis. Penggunaan tes tersebut ditakuti akan menyebabkan gelombang baru sterilisasi dan aborsi akan terjadi. Aborsi yang berbasis tes genetika sudah terjadi di negara yang melegalisasinya.

Bagaimanapun, apakah tindakan yang tepat untuk mendiskriminasi penderita kelainan genetik, walaupun ia masih di kandungan? Bukankan hidup ini terlalu berharga? Dengan masa depan yang tidak jelas kedepan, kelihatannya kesempatan untuk melihat bahwa tes genetika dan bentuk baru dari reproduksi manusia akan menjadi bagian dari masyarakat dari sekarang. Pada skenario ini, alternatif terbaik kelihatannya membawa kekuatan dari nilai-nilai keluarga, moral, dan agama. Diperlukan suatu dialog dua arah untuk mendapatkan pemahaman secara utuh mengenai isu eugenika.

Bagaimana jika eugenika dikaitkan dengan aborsi? Tunggu kelanjutannya dalam tulisan kedua yang akan segera menyusul.

Senin, 05 April 2010

penyakit berbahaya yang mematikan

JUBI-Perilaku manusia terhadap lingkungan tempat tinggalnya serta parasit tempat jentik-jentik nyamuk terutama bagi nyamuk jenis anopeles penyebar malaria adalah salah satu yang harus diwaspadai. Dan tidak semua jenis nyamuk dapat menyebarkan benih malaria kecuali diatas. Untuk itulah perlunya semua orang melakukan kepedulian terhadap bersih lingkungan sebagai cara efektif untuk menekan perkembangbiakan nyamuk malaria.

Iklim di Papua memiliki kondisi suhu dan kelembaban yang ideal untuk perkembangan nyamuk dan parasit malaria. Secara teoritis nyamuk bisa terbang hingga 2-3 kilo meter, namun karena pengaruh angin jarak terbang bisa mencapai 40 km. Para ahli banyak memperkirakan bahwa perubahan iklim global turut mempengaruhi penyebaran nyamuk malaria. Nyamuk anopheles yang biasanya hanya ditemukan di dataran rendah sekarang bisa ditemukan di daerah dataran tinggi atau pegunungan yang tingginya diatas 2000 meter dari permukaan laut seperti yang ditemukan di daerah Jayawijaya papua.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Dr Bagus Sukaswara, saat ditemui JUBI beberapa waktu lalu mengatakan bahwa, gangguan nyamuk penyebar malaria tidak kalah seriusnya dengan penyakit berbahaya dan mematikan lainnya. Untuk itulah setiap masyarakat diharapkan dapat menjaga lingkungan bersih dan meminimalisir terjadinya genangan air yang ada di sekitar tempat tinggal.
Menurutnya cara terakhir untuk mengontrol malaria secara murah dan mudah adalah upaya proteksi diri dan keluarga terhadap gigitan nyamuk malaria.
“Marilah kita bersama-sama memperhatikan lingkungan sekitar kita untuk dijaga kebersihannya. Sebisa mungkin membebaskan sekitar rumah dari genangan air atau menutup tempat penampungan air yang bisa dimungkinkan terjadinya perkembangbiakan nyamuk. Kemudian biasakan tidur dengan kelambu untuk menghindari kontak langsung dengan nyamuk” terang Bagus serius.
Dikatakanya, jika seseorang menderita sakit segera mencari pengobatan sehingga tidak menjadi sumber penularan bagi keluarga dan tetangga lainnya. Sementara untuk pencegahan disarankan untuk minum obat jika mengunjungi daerah endemis malaria.
Kata malaria berasal dari bahasa Itali “mal’aria” yang ketika itu orang beranggapan hal itu terjadi karena udara kotor. Namun dalam bahasa Perancis yang disebut “Paludismo” atau daerah rawa dan payau serta pinggiran pantai, dimana indikasi awalnya setiap orang yang menderita penyakit ini kebanyakan berasal dari daerah tersebut.
Saat ini bisa dikatakan sejumlah penyakit berbahaya dan mematikan tengah menemukan lahan subur bagi perkembangbiakannya di Papua. Diantara sekian jenis penyakit berbahaya dan kini menjadi pusat perhatian adalah penyakit “ATM” yakni aids, tuberkulosa dan malaria.
Trio penyakit ini sudah banyak memakan korban jiwa, untuk itulah dengan ditetapkanya penyakit ATM sebagai bagian dari komitmen global, maka bisa diukur seberapa besar bahayanya penyakit tersebut bagi kesehatan manusia.
Malaria kini seolah bangkit kembali dan memperlihatkan kecenderungan lebih berbahaya terutama dengan munculnya spesies baru nyamuk penyebar malaria. Sejak 1 Juli 2003 program pengendalian malaria di 5 provinsi di Indonesia timur (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara dan NTT).
Global Fund untuk tahap pertama membantu dengan dana hibah yang sudah disepakati sebesar US$.23,704,947 untuk membiayai program intensifikasi pengendalian malaria sampai 30 Juni 2008. Manfaat dari hibah ini sesuai harapannya akan dapat dinikmati oleh 9 juta penduduk beresiko di 61 kabupaten/kota di 5 provinsi tersebut.
Penyakit malaria juga mempunyai sejarah yang digambarkan dalam perang dunia I prajurit inggris banyak yang mati digigit nyamuk penyebar malaria dari pada yang mati karena tertembak peluru lawan. Para ahli memperkirakan bahwa malaria diperkirakan berawal dari Afrika sekitar 12.000-17.000 tahun yang lalu dan menyebar ke seluruh dunia terutama untuk wilayah tropis seperti di Indonesia.
Malaria juga sudah dikenal oleh para dokter zaman China kuno sekitar 2700 sebelum masehi.

Kasus Malaria Di Papua
Angka kesakitan malaria di provinsi Papua dalam kurun waktu 2002-2006 berkisar sebesar 116-248 per 1000 penduduk. Ini merupakan tertinggi di Indonesia. Malaria dianggap merupakan penyebab kematian utama bagi semua kelompok umur di Papua walaupun data kongkretnya tidak dapat diperoleh. Di daerah endemis malaria, penyakit ini menyumbang angka kesakitan anemia dan kematian ibu hamil. Malaria menyebabkan ibu hamil melahirkan bayi dengan berat bayi lahir rendah, prematur dan juga kematian bayi. Akibat lainnya penderita dalam usia produktif akan menurun produktifitasnya.
Pencanangan dimulainya gerakan berantas malaria atau “Gebrak Malaria” secara nasional yang dimulai pada tahun 2000 lalu. Suatu gerakan nasional yang diharapkan dapat menekan penyakit malaria dengan melibatkan berbagai komponen dan elemen masyarakat.
Namun gerakan ini ternyata masih belum berhasil mengontrol kasus malaria.
Sementara itu ahli epidemilogist, Primus R. Prabowo dalam makalahnya yang disampaikan dihadapan wartawan pada lokakarya yang diselenggarakan oleh dinas Kesehatan bersama para kuli tinta di Jayapura berujar, salah satu faktor lingkungan juga mempengaruhi peningkatan kasus malaria adalah penggundulan hutan terutama hutan bakau di pinggiran pantai. Akibat rusaknya lingkungan ini nyamuk yang umumnya hanya tinggal di hutan dapat berpindah ke pemukiman manusia. Di daerah pantai kerusakan hutan bakau dapat menghilangkan musuh-,usuh alami nyamuk sehingga kepadatan nyamuk menjadi tidak terkontrol.
Malaria juga sangat sulit untuk diberantas karena keberadaan nyamuk itu sendiri mencapai ratusan spesies. Tidak kurang dari 400 spesies jenis nyamuk anopheles hidup di bumi. Di Indonesia memiliki sedikitnya 20 jenis anopheles dimana 9 jenis diantaranya merupakan faktor penyebab malaria dan Papua merupakan tempat perkembangbiakan paling potensial.
Malaria Sulit Dikontrol
Secara teoritis cukup hanya dengan satu kali gigitan nyamuk anopheles yang mengandung parasite seseorang sudah dapat terjangkit malaria. Penyakit ini sebenarnya jenis penyakit yang disebabkan oleh parasite yang dikenal dengan nama plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles sebagai penyebab malaria tropikana dan merupakan jenis paling berbahaya dengan tingkat kematian paling tinggi. Plasmodium yang kedua adalah vivax penyebab malaria jenis tertiana.
Walaupun ditularkan lewat gigitan nyamuk sebenarnya penyakit ini merupakan suatu penyakit ekologis (lingkungan). Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang memungkinkan nyamuk berkembang biak dan berpotensi melakukan kontak langsung dengan manusia karena hidupnya tidak jauh dari aktifitas manusia sehari-hari.
Faktor lingkungan antara lain berupa air, suhu udara, kelembaban, arah dan kecepatan angin. Air merupakan faktor esensial bagi kehidupan nyamuk akibat tidak dialirkan dengan baik dan terjadi genangan.
Nyamuk dan parasit malaria sangat cepat berkembang biak pada suhu sekitar 20-27 derajat celcius dengan kelembaban 60-80 persen.
Diperkirakan 50 persen penduduk indonesia masih tinggal di daerah endemis malaria. Menurut WHO tidak kurang dari 30 juta kasus malaria terjadi setiap tahunnya di indonesia dengan 30 ribu kematian.

BIODATA

nama : Novi juanti
tempat, tanggal lahir : Bogor 23, november 1991
alamat : jln raya ciapus. kab Bogor
perguruan tinggi : Universitas pakuan
pekerjaan : mahasiswa
agama : Islam
hobby : Membaca, memasak
aktifitas : kuliah
Email : novi.juanti@gmail.com